Senin, 22 November 2010

Sejarah Kota Malang





SEJARAH KOTA MALANG
Daerah Malang merupakan peradaban tua yang tergolong  pertama kali muncul dalam sejarah Indonesia yaitu sejak abad ke 7 Masehi. Peninggalan yang lebih tua seperti di Trinil (Homo Soloensis) dan Wajak - Mojokerto (Homo Wajakensis) adalah bukti arkeologi fisik (fosil) yang tidak menunjukkan adanya suatu peradaban. Peninggalan purbakala disekitar wilayah Kota Malang seperti Prasasti Dinoyo (760 Masehi), Candi Badut, Besuki, Singosari, Jago, Kidal dan benda keagamaan berasal dari tahun 1414 di Desa Selabraja menunjukkan Malang merupakan pusat peradaban selama 7 abad secara kontinyu.
Malang merupakan wilayah kekuasaan 5 dinasti yaitu Dewasimha / Gajayana (Kerajaan Kanjuruhan), Balitung / Daksa / Tulodong Wawa (Kerajaan Mataram Hindu), Sindok / Dharmawangsa / Airlangga / Kertajaya (Kerajaan Kediri), Ken Arok hingga Kertanegara (Kerajaan Singosari), Raden Wijaya hingga Bhre Tumapel 1447 - 1451 (Kerajaan Majapahit).
MASA KERAJAAN KANJURUHAN
Kerajaan Kanjuruhan menurut para ahli purbakala berpusat dikawasan Dinoyo Kota Malang sekarang. Salah satu bukti keberadaan Kerajaan Kanjuruhan ini adalah Prasasti Dinoyo yang saat ini berada di Museum Jakarta. Prasasti Dinoyo ditemukan di Desa Merjosari (5 Km. sebelah Barat Kota Malang), di kawasan Kampus III Universitas Muhammadiyah saat ini. Prasasti Dinoyo merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lain adalah cara penulisan tahun berbentuk Condro Sangkala berbunyi Nayana Vasurasa (tahun 682 Saka) atau tahun 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :
  • Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
  • Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
  • Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
  • Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
  • Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
  • Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia Sang Agastya
  • Bersama Raja dan para pembesar negeri Sang Agastya (disebut Maharesi) menghilangkan penyakit
  • Raja melihat Arca Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
  • Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok
Salah satu Arca Agastya ada di dalam kawasan Candi Besuki yang saat ini tinggal pondasinya saja. Bukti lain keberadaan Kerajaan Kanjuruhan adalah Candi Badut yang hingga kini masih cukup baik keadaannya serta telah mengalama renovasi dari Dinas Purbakala. Peninggalan lain adalah Patung Dewasimha yang berada di tengah Pasar Dinoyo saat ini.
MASA KERAJAAN MATARAM HINDU
Keturunan Dewasimha dan Gajayana mundur sejalan dengan munculnya dinasti baru di daerah Kediri yaitu Balitung, Daksa, Tulodong dan Wawa yang merupakan keturunan Raja Mataram Hindu di Jawa Tengah.  Balitung (898 - 910) adalah Raja Mataram pertama yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dinasti ini memusatkan kekuasaannya di daerah Kediri yang lebih dekat ke Jawa Tengah dibandingkan dengan bekas pusat kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan di Malang. Pada masa ini Malang hanyalah sebuah wilayah yang tidak begitu penting kedudukannya.
MASA KERAJAAN KEDIRI, DAHA DAN JENGGALA
Dinasti berikutnya yang menguasai Kediri setelah kemunduran Mataram Hindu adalah keturunan Sindok, Dharmawangsa, Airlangga dan terakhir Kertajaya (1216 - 1222). Pada masa ini pusat kekuasaan beralih ke Daha / Jenggala sedangkan daerah Malang menjadi sebuah wilayah setingkat Kadipaten yang maju dan besar terutama sebagai dalam bidang keagamaan dan perdagangan, dipimpin oleh seorang Akuwu.
MASA KERAJAAN SINGOSARI
Singosari dikenal sebagai salah satu kerajaan terbesar di tanah Jawa yang disegani diseluruh Nusantara dan manca negara. Singosari semula adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Raja Kediri yaitu Kertajaya. Kadipaten tersebut bernama Tumapel dipimpin oleh Akuwu Tunggul Ametung yang kemudian direbut kedudukannya oleh Ken Arok. Ken Arok kemudian mengembalikan pusat kekuasaan ke daerah Malang setelah Kediri ditaklukkan. Selama 7 generasi Kerajaan Singosari berkembang pesat hingga menguasai sebagian besar wilayah Nusantara. Bahkan Raja terakhir yaitu Kertanegara mempermalukan utusan Maharaja Tiongkok Kubhilai Khan yang meminta Singosari menyerahkan kekuasaannya.
Singosari jatuh ketangan Kediri ketika sebagian besar pasukan Kertanegara melakukan ekspedisi perang hingga ke  Kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Namun tidak lama kemudian pasukan Kediri berhasil dipukul mundur oleh keturunan Kertanegara yaitu Raden Wijaya yang kemudian dikenal sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. Pada saat yang hampir bersamaan Raden Wijaya juga harus menghadapi serbuan dari armada Tiongkok yang menuntut balas atas perlakuan Raja Singosari sebelumnya (Kertanegara) terhadap utusannya. Armada Tiongkok inipun berhasil dikalahkan oleh Raden Wijaya berkat bantuan dari Penguasa Madura yaitu Arya Wiraraja.
MASA KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Majapahit menaklukkan hampir seluruh Nusantara dan melebarkan sayapnya hingga ke seluruh Asia Tenggara. Pada masa ini daerah Malang tidak lagi menjadi pusat kekuasaan karena diduga telah pindah ke daerah Nganjuk. Menurut para ahli di Malang ditempatkan seorang penguasa yang disebut Raja pula.
Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai Dewa. Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru (Telaga Ranu Gumbolo) dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung Bromo - Tengger - Semeru serta Gunung Arjuna adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.
ASAL USUL NAMA KOTA MALANG
Nama Batara Malangkucecwara disebutkan dalam Piagam Kedu (tahun 907) dan Piagam Singhasari (tahun 908). Diceritakan bahwa para pemegang piagam adalah pemuja Batara (Dewa) Malangkucecwara, Puteswara (Putikecwara menurut Piagam Dinoyo), Kutusan, Cilahedecwara dan Tulecwara. Menurut para ahli diantaranya Bosch, Krom dan Stein Calleneis, nama Batara tersebut sesungguhnya adalah nama Raja setempat yang telah wafat, dimakamkan dalam Candi Malangkucecwara yang kemudian dipuja oleh pengikutnya, hal ini sesuai dengan kultus Dewa - Raja dalam agama Ciwa.
Nama para Batara tersebut sangat dekat dengan nama Kota Malang saat ini, mengingat nama daerah lain juga berkaitan dengan peninggalan di daerah tersebut misalnya Desa Badut (Candi Badut), Singosari (Candi Singosari). Dalam Kitab Pararaton juga diceritakan keeratan hubungan antara nama tempat saat ini dengan nama tempat di masa lalu misalnya Palandit (kini Wendit) yang merupakan pusat mandala atau perguruan agama. Kegiatan agama di Wendit adalah salah satu dari segitiga pusat kegiatan Kutaraja pada masa Ken Arok (Singosari - Kegenengan - Kidal - Jago : semuanya berupa candi).
Pusat mandala disebut sebagai panepen (tempat menyepi) salah satunya disebut Kabalon (Kebalen di masa kini). Letak Kebalen kini yang berada di tepi sungai Brantas sesuai dengan kisah dalam Pararaton yang menyebut mandala Kabalon dekat dengan sungai. Disekitar daerah Kebalen - Kuto Bedah - DAS Brantas banyak dijumpai gua buatan manusia yang hingga kini masih dipakai sebagai tempat menyepi oleh pengikut mistik dan kepercayaan. Bukti lain kedekatan nama tempat ini adalah nama daerah Turyanpada kini Turen, Lulumbang kini Lumbangsari, Warigadya kini Wagir, Karuman kini Kauman.
Pararaton ditulis pada tahun 1481 atau 250 tahun sesudah masa Kerajaan Singosari menggunakan bahasa Jawa Pertengahan dan bukan lagi bahasa Jawa Kuno sehingga diragukan sebagai sumber sejarah yang menyangkut pemerintahan dan politik. Penulisan Pararaton sudah . Namun pendekatan yang dipakai para ahli dalam menyelidiki asal usul nama Kota Malang didasarkan pada asumsi bahwa nama tempat tidak akan jauh berubah dalam kurun waktu tersebut. Hal ini bisa dibuktikan antara lain dari nama Kabalon (tempat menyepi) ternyata juga disebutkan dalam Negara Kertagama. Dalam kitab tersebut dikisahkan bahwa puteri mahkota Hayam Wuruk yaitu Kusumawardhani (Bhre Lasem) sebelum menggantikan ayahnya terlebih dahulu menyepi di di Kabalon dekat makam leluhurnya yaitu Ken Arok atau Rangga Rajasa alias Cri Amurwabumi. Makam Ken Arok tersebut adalah Candi Kegenengan.
Namun istilah Kabalon hanya dikenal dikalangan bangsawan, hal inilah yang menyebabkan istilah Kabalon tidak berkembang. Rakyat pada masa itu tetap menyebut dan mengenal daerah petilasan Malangkucecwara dengan nama Malang hingga diwariskan pada masa sekarang.
MASA KOLONIAL
Setelah kemunduran Kerajaan Majapahit yang terdesak oleh Kerajaan Mataram Islam, daerah Malang semakin ditinggalkan bahkan dijauhi karena kultus Dewa - Raja dan agama Hindu bertentangan dengan ajaran Islam. Peninggalan peradaban Hindu - Ciwa tidak lagi diperhatikan karena sisa pengikut Kerajaan Majapahit yang memeluk agama Hindu Ciwa menyingkir ke daerah Tengger dan keturunannya dikenal sebagai masyarakat Tengger sekarang.
Kedatangan bangsa kulit putih antara lain Portugis, Belanda dan Inggris pada akhirnya mengakibatkan kemunduran Kerajaan mataram sehingga Nusantara jatuh kedalam masa penjajahan. Dalam masa pertengahan penjajahan menurut Buku History of Java karangan Gubernur Jenderal Raffles (1812), Malang merupakan daerah perkebunan dibawah Kabupaten Pasuruan. Malang berkembang pesat setelah ada  jalur kereta api dan dibukanya berbagai perkebunan terutama tebu untuk industri gula. Sampai saat ini dua pabrik gula peninggalan kolonial masih beroperasi yaitu PG. Krebet Baru dan PG. Kebon Agung.
MASA KEMERDEKAAN
Pada masa sesudah Proklamasi Kemerdekaan di Malang didirikan Pemerintah Daerah Sementara dan pada masa Perang Kemerdekaan (Clash I 1947 dan Clash II 1949) daerah Malang menjadi basis perjuangan baik politis maupun gerilya. Berbagai pasukan antara lain TGP dan pasukan Hamid Rusdi sangat terkenal dengan kegigihan dan keberaniannya. Salah satu pertempuran dahsyat dalam mempertahankan Kota Malang yang selalu dikenang adalah front Jalan Salak (kini Jalan Pahlawan Trip). Pada saat itu gugur 35 orang anggota Brigade 17 Detasemen I Trip Jawa Timur. Di bekas lokasi pertempuran tersebut kini didirikan Monumen dan Makam Pahlawan Trip. Makam Pahlawan yang lain terletak di Jalan Veteran tidak jauh dari Jalan Pahlawan Trip.
MASA ORDE LAMA
Pergolakan politis pada akhir masa Orde Lama juga terjadi di Malang karena aktifitas PKI / Komunis cukup banyak mempengaruhi masyarakat terutama golongan pemuda. Terjadi rapat2 umum, demonstrasi, kerusuhan dan bentrokan fisik antara pendukung Komunis dengan pendukung Pancasila, salah satunya yang terkenal adalah penyerbuan Gedung Sarinah sekarang. Akhirnya kelompok Komunis dapat dikalahkan dan melarikan diri ke daerah Blitar sehingga dilakukan operasi militer Sandhi Yudha yang mengakhiri petualangan Komunis di Indonesia.
MASA ORDE BARU
Kota Malang berkembang pesat pada masa Orde Baru berkat perkembangan perekonomian yang semakin baik dan semangat masyarakat yang kuat untuk meraih hari depan yang lebih baik. Berbagai kegiatan pembangunan di segala bidang terus dilakukan dan memberikan hasil yang memuaskan.
MASA REFORMASI
Malang sebagai Kota Pendidikan juga menjadi salah satu barometer aksi yang menggulirkan reformasi. Ribuan Pelajar dan Mahasiswa turun ke jalan untuk memperjuangkan hak rakyat dan prinsip demokrasi hingga berhasil. Dan perjuangan terus dilanjutkan di daerah antara lain dengan mengupayakan pemilihan Pimpinan Daerah (Walikota) yang demokratis.

Jumat, 12 November 2010

Sejarah Desa Bantur Malang

      
Kecamatan Bantur sendiri terletak di selatan Kabupaten Malang kurang lebih dari 30km Saya akan membahas sedikit tentang asal-usul desa bantur dan biografi desa bantur.
     Menurut cerita para sesepuh dari mbah saya,kecamatan Bantur dibuka sekitar tahun 1830-an. Saat itu masih hutan belukar yang belum bernama, tokoh yang membuka hutan dikenal dengan nama Kyai Radiman, beliau Seaorang tokoh masyarakat sekaligus yang babat hutan bantur, seorang muslim yang taat sekaligus seorang tentara Pangeran Diponegoro yang (sangat mungkin) bersembunyi dari kejaran kompeni setelah Pangeran Diponegoro tertangkap setelah dipancing dari persembunyian oleh Kompeni dengan cara di ajak berunding.
       Makam Kyai Radiman sampai sekarang masih ada di Jl. Kyai Radiman. Daerah itu masuk dalam wilayah Bantur Tengah. Biasanya pada tiap malam jumat legi di makam beliau banyak yang berziaroh, baik dari masyarakat bantur sendiri, juga ada dari masyarakat luar kecamatan bantur.
       Menurut riwayat para sesepuh mbah saya, Kyai Radiman tewas dibunuh atas perintah kompeni dengan cara halus yaitu diadakan acara makan-makan, pihak belanda mengiris semangka dengan sebilah pisau yang diolesi racun mematikan di satu sisi dari pisau. Kyai Radiman tidak curiga atas beracunnya semangka karena semangka di belah didepan mata, padahal pisau pembelah diolesi racun. Semangka yang bersentuhan dengan sisi pisau beracun dihidangkan untuk Kyai Radiman, sementara yang bersih dari racun dihidangkan ke pihak lingkaran para belanda.
Sedangkan nama desa Bantur sendiri berasal dari nama putra kyai radiman namanya Banturono (Mbah Bantur).
Sampai sekarang peningalan mbah bantul yang masih ada di antaranya, sebuah kayu jati yang berlubang di tengahnya, dan berlokasi di desa gowok(josari) di tengah pertiga-an antara bantur-gondang legi dan jalan ke sepanjang.
    
            Dan sekarang kecamatan Bantur sangat luas meliputi, wonolopo, rejoyoso, karang sari, dll untuk wilayah bantur utara. Wilayah barat dan selatan meliputi, bandung rejo, sumber bening, bledokan, dll nya, di wilayah barat dan selatan terdapat pantai wisata yang sangat di terkanal(balikambang, gondang merak, dll) di kabupaten malang umumnya dan jatim khususnya, di wilayah ini juga terdapat markas Tentara Angkatan Laut (Purboyo)yang tidak kalah terknalnya dengan markas-markas Tentara di Indonesia.
     kantor Kecamatannya terletak di salatan pasar Bantur Bantur saat ini mayoritas mayoritas masyarakatnya keturunan jawa dan sebagian keturunan madura.

BIOGRAFI SYAIKHUNA KHOLIL AL BANKALANI

Kisah Yai Kholil
KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrahatau 27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak dewasa beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran . Belia mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran).
Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KHMuhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani i. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Kh.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasym Asy’ari,Kh.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru sesama Rekannya, Dan Kh.Muhammad KHolil yang Dituakan dan dimuliakan diantara mereka.
Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Kh.Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
karena Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Kh. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sedar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri .
Kh.Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita kh Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar kh Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
di antara sekian banyak murid Kh Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah Kh Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).
Kh. Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masihi.